Kami berdua berpegangan tangan menyusuri mall yang penuh dengan anak anak kecil dan keluarga di hari minggu itu. Sesekali aku menyandarkan kepalaku di dada Doni yang bidang sambil memeluk pinggangnya. Lengan Doni tersampir di bahuku, sesekali mencuri curi rabaan di buah dadaku kalau sedang sepi. Aku agak capai berjalan mengelilingi mall yang besar itu setelah semalaman melayani nafsu Doni yang tak ada habisnya. Kami duduk mengaso di sebuah kafe di lantai LG.
"Ness, sudah tiga bulan sejak kita ketemu lagi di hotel itu lho."
"hmmm?", aku hanya menggumam sambil asyik menontoni sepasang suami istri berjalan bersama sambil berpegangan tangan, dan tangan kiri sang istri mengusap perutnya yang hamil besar.
"Aku seneng sekali bisa ketemu kamu lagi. Waktu aku kembali ke Indonesia, aku sedih banget, aku kira kesempatan gua untuk bersama dengan kamu itu sudah lewat."
"hmmmm"
"Engga disangka ternyata kita ketemu, di hotel, apa lagi baru saja bertualang dengan orang Laen"
"hmmmm". Aku berusaha menebak arah ucapan Doni kali ini, sambil menyeruput kopi hangat.
"Ness, aku tahu kamu sedang mengintai pasangan suami istri yang hamil itu ya?"
"hehehehe", Doni memang perhatian sekali, dia tahu pikiranku.
"Aku pengen kita seperti itu suatu hari Ness"
Brrrtttttttt kopi di mulutku yang baru setengah ditelan, kembali tersembur saking kagetnya aku.
"Kamu seriusan Don? Apa hakmu bilang seperti itu sih? Kamu kira gara2 kita ketemu setiap weekend dan ngentot barengan, jadi aku ini sudah jadi istrimu? Sembarangan kamu ini!!". Aku terkejut mendengar kata kata itu keluar semua dari mulutku, tapi tak bisa kusanggah bahwa memang itu perasaanku saat itu. Tanpa bisa kuhentikan, badanku berdiri sendiri, tanganku melayang menampar Doni dan aku berlari ke lantai dasar, lalu mencari taxi sendiri dan pulang kerumahku sendiri. Sengaja kumatikan ringer di teleponku.
Malam itu aku sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor yang tak ada habisnya. Akhirnya sekitar tengah malam, aku merasakan penat dan capai, lalu menyelinap ke ranjang untuk tidur. Tapi tidur itu tak kunjung datang, malah bayangan2 Doni dan aku yang muncul di kepala, sejak kami bertemu di pertandingan basket itu, saat kami berpisah di luar negeri, dan saat kami bertemu lagi tiga bulan lalu di Indonesia. Dan malam itu aku merasa kesepian. Biasanya Doni menemaniku membereskan kerjaan kantor, lalu kami makan malam berdua, mandi bersama, dan tidur bersama. Malam itu aku tak bisa tidur, ranjangku terasa dingin tanpa Doni, tapi bukan itu yang mengusir rasa lelap. Tubuhku yang sudah terbiasa dipuasi hampir setiap malam dengan sentuhan pria yang kusayangi juga merasa kesepian dan menuntut pemuasan, tapi bukan itu pula yang mengusir rasa lelap. Aku merasa bersalah menolak Doni ketika dia dengan tulusnya berbagi perasaan menyatakan cinta. Otakku tak habis memikirkan mengapa aku begitu takut dengan cinta dan khususnya perjanjian seumur hidup seperti pasangan suami istri itu.
Sekitar jam 3 subuh, setelah beberapa jam tak hentinya memikirkan apa yang terjadi siang itu, meragukan perasaanku, mencaci reaksiku sendiri, akhirnya aku terlelap.
Keesokan harinya, aku berdandan bersiap untuk pergi bekerja seperti biasanya. Aku sengaja mengenakan dress yang sama ketika kami bertemu lagi (dan bercinta lagi) beberapa bulan yang lalu. Setiap kali aku mengenakan wrap dress ini, Doni selalu memuji kecantikanku, dan biasanya tangannya tak bisa diam. Setengah jam sebelum Doni biasanya makan siang, aku pergi membeli beberapa tangkai bunga mawar yang merah, lalu berjalan ke kantor Doni yang berseberangan jalan dengan kantorku.
Para petugas satpam dan resepsionis di kantor Doni sudah biasa melihat aku datang menjemput untuk makan siang, jadi mereka langsung mempersilakan aku masuk ke dalam. Tiba di lantai 30, aku masih bisa melihat Doni sedang bekerja di kantornya. Aku menghentikan langkahku di depan elevator dan berusaha mengumpulkan sisa sisa keberanian diri, lalu aku melanjutkan langkahku. Ketukanku di pintu kantor sama sekali tidak membuyarkan konsentrasi Doni, dia hanya memanggil singkat,"Masuk!".
Aku melangkah masuk, setelah menunggu beberapa saat tanpa diacuhkan, aku berdehem lembut tapi cukup untuk terdengar Doni, yang mendongak dari kerjaan dan agak terkejut melihatku untuk pertama kalinya sejak aku menamparnya.
"Ness..."
Dengan kikuk aku menyerahkan kembang mawar merah yang kubawa.
"Mawar merah? Apa ini artinya seperti yang kubayangkan?"
Aku berdehem kembali, mataku tak mampu melihat Doni secara langsung, aku malah menatapi jemari kakiku yang dibalut sepatu.
"Maaf ya kemarin ini Don. Aku bersalah, tidak seharusnya menampar."
Don diam saja.
"Aku berpikir banyak tadi malam, sampai tidak bisa tidur. Aku juga pengen suatu hari seperti pasangan suami istri itu, bahagia berkeluarga. Aku engga tahu apa itu sama kamu atau enggak, tapi aku tahu aku sayang kamu. Kemarin waktu kamu bilang mau seperti pasangan itu, aku takut banget. Aku belum siap untuk menjanjikan diriku seumur hidup untuk seseorang. Aku takut kalau kamu tahu borok2 kehidupanku, kamu akan kabur.
Kita sudah beberapa bulan ini lengket terus barengan, tapi aku masih belum tahu apa sih status kita? Apa kita ini pacaran? Atau sekedar teman yang mesra? Atau seriusan memikirkan pernikahan?
Aku sayang kamu Don, tapi gimana kalau kita pelan pelan saja? Mulai dari pacaran, sayang-sayangan, supaya kita saling kenal satu sama lain, di luar ranjang dan seks. Kita ketemuan keluarga masing masing, datang ke acara keluarga barengan, jadi pacaran yang biasa saja." Mataku sudah basah mengalir, dan aku berbicara sambil sesengguk menumpahkan isi hatiku ke Doni.
"Maafkan aku ya Don, aku belum siap untuk pernikahan, dan maafkan aku kemarin menampar. Tapi aku sangat sayang kamu, dan kalau kamu masih mau pacaran denganku, aku bisa membuatmu bahagia." Di akhir kalimat itu, aku menangis sejadi-jadinya di kantor Doni, mengharapkan aku tidak akan kehilangan orang yang kusayangi gara gara aku tidak bisa mengendalikan emosi kemarin.
Setitik air mata mengalir di muka Doni pula. Dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, kami berdua berdiri di kantornya saling menangis. Untung posisi kami berdua terlindungi pintu dan tidak terlihat dari luar.
"Ness, tentu saja aku mau pacaran denganmu. Aku sudah kehilangan kamu sekali, aku engga mau kehilangan kamu lagi," tangan Doni mengusap-usap rambutku, kami berdua masih terus menangis, tapi tangis bahagia yang mulai mengalir, bukan tangis rasa takut kehilangan lagi.
Doni berusaha mengecup pipiku, tapi aku sambut dengan ciuman di bibirku. Jemariku mengusap pipinya yang kutampar kemarin,"Don, maaf ya kemarin aku tampar. Aku sayang kamu." Aku mengecupi pipinya dengan lembut.
Tangan Doni perlahan-lahan mulai mencari kulitku untuk bersentuhan tanpa dihalangi kain, jarinya merayap ke bawah dressku dan bibirnya semakin menuntut kemesraan, menciumi leher dan pundakku, memancing nafsu yang dimulai dari perasaan sayang dan kasih.
Aku terus terang sangat terbuai cumbuan kekasihku itu, dan tubuhku juga otomatis bersiap siap untuk cumbuan lebih lanjut. Tapi akal sehatku menghentikan itu,"Don...Don... Ssttttt ahhhh Stop... stop please.... Udah dulu ya... Please jangan di sini...". Doni berhenti mencumbuiku, tampangnya jelas-jelasan sudah mulai memancarkan nafsu.
Kami berdua terengah-engah mengejar napas dan menenangkan diri.
"Don, kita mesti bicarakan dulu soal ini. Jangan keterusan."
"Ya. Sorry Ness. Kalo ketemu kamu, aku jadi hilang kendali. Oke. Yuk. Mau makan siang bareng aku sambil membicarakan tentang status kita? "
Aku menatap mata Doni dalam dalam dan mengangguk. Lalu kucium bibirnya sekali lagi, sambil menyelipkan lidahku dengan nakal. Doni agak terkejut, tapi dia membalas dengan meremas pantatku di bawah dress yang pendek. Kami berdua tertawa, dan bergandengan tangan menuju lift untuk pergi makan siang.
Ditengah para pengunjung food court siang itu, ditemani nasi goreng ikan asin dan Lomie pedas, kami berdua setuju untuk mulai berpacaran serius, dan kami berjanji akan setia satu sama lain.
Dan tentu saja malam itu kami meresmikan perjanjian itu di ranjang Doni.
Kita sudah beberapa bulan ini lengket terus barengan, tapi aku masih belum tahu apa sih status kita? Apa kita ini pacaran? Atau sekedar teman yang mesra? Atau seriusan memikirkan pernikahan?
Aku sayang kamu Don, tapi gimana kalau kita pelan pelan saja? Mulai dari pacaran, sayang-sayangan, supaya kita saling kenal satu sama lain, di luar ranjang dan seks. Kita ketemuan keluarga masing masing, datang ke acara keluarga barengan, jadi pacaran yang biasa saja." Mataku sudah basah mengalir, dan aku berbicara sambil sesengguk menumpahkan isi hatiku ke Doni.
"Maafkan aku ya Don, aku belum siap untuk pernikahan, dan maafkan aku kemarin menampar. Tapi aku sangat sayang kamu, dan kalau kamu masih mau pacaran denganku, aku bisa membuatmu bahagia." Di akhir kalimat itu, aku menangis sejadi-jadinya di kantor Doni, mengharapkan aku tidak akan kehilangan orang yang kusayangi gara gara aku tidak bisa mengendalikan emosi kemarin.
Setitik air mata mengalir di muka Doni pula. Dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, kami berdua berdiri di kantornya saling menangis. Untung posisi kami berdua terlindungi pintu dan tidak terlihat dari luar.
"Ness, tentu saja aku mau pacaran denganmu. Aku sudah kehilangan kamu sekali, aku engga mau kehilangan kamu lagi," tangan Doni mengusap-usap rambutku, kami berdua masih terus menangis, tapi tangis bahagia yang mulai mengalir, bukan tangis rasa takut kehilangan lagi.
Doni berusaha mengecup pipiku, tapi aku sambut dengan ciuman di bibirku. Jemariku mengusap pipinya yang kutampar kemarin,"Don, maaf ya kemarin aku tampar. Aku sayang kamu." Aku mengecupi pipinya dengan lembut.
Tangan Doni perlahan-lahan mulai mencari kulitku untuk bersentuhan tanpa dihalangi kain, jarinya merayap ke bawah dressku dan bibirnya semakin menuntut kemesraan, menciumi leher dan pundakku, memancing nafsu yang dimulai dari perasaan sayang dan kasih.
Aku terus terang sangat terbuai cumbuan kekasihku itu, dan tubuhku juga otomatis bersiap siap untuk cumbuan lebih lanjut. Tapi akal sehatku menghentikan itu,"Don...Don... Ssttttt ahhhh Stop... stop please.... Udah dulu ya... Please jangan di sini...". Doni berhenti mencumbuiku, tampangnya jelas-jelasan sudah mulai memancarkan nafsu.
Kami berdua terengah-engah mengejar napas dan menenangkan diri.
"Don, kita mesti bicarakan dulu soal ini. Jangan keterusan."
"Ya. Sorry Ness. Kalo ketemu kamu, aku jadi hilang kendali. Oke. Yuk. Mau makan siang bareng aku sambil membicarakan tentang status kita? "
Aku menatap mata Doni dalam dalam dan mengangguk. Lalu kucium bibirnya sekali lagi, sambil menyelipkan lidahku dengan nakal. Doni agak terkejut, tapi dia membalas dengan meremas pantatku di bawah dress yang pendek. Kami berdua tertawa, dan bergandengan tangan menuju lift untuk pergi makan siang.
Ditengah para pengunjung food court siang itu, ditemani nasi goreng ikan asin dan Lomie pedas, kami berdua setuju untuk mulai berpacaran serius, dan kami berjanji akan setia satu sama lain.
Dan tentu saja malam itu kami meresmikan perjanjian itu di ranjang Doni.
2 comments:
iseng2 mampir kmari, ga nyangka ceritanya dilanjut lagi. salut sama konsistensinya.
wah masih lanjut.. benar2 saya suka, pengen banget nyobain Vanessa
Post a Comment