Sunday, March 02, 2014

The worst cousin part 2

Aku terbangun pagi itu oleh suara-suara dari dapur apartemen Indra, dimana mesin capuccino sedang mendengus-dengus mengeluarkan uap panas untuk menyeduh kopi espresso. Sepertinya Indra sedang membuat breakfast untuk kami berdua. Aku berdiri masih telanjang di tengah kamar tidur Indra, ternyata Indra telah mengeluarkan sebuah gaun mandi untukku, yang disampirkan di sebelah ranjang. Aku mengenakan gaun itu dan melihat-lihat isi kamar tidur Indra. Memang sudah beberapa kali aku bermalam di sini, tapi biasanya kami masuk tergesa-gesa untuk bercinta secepatnya, dan aku biasanya berjingkat-jingkat meninggalkan apartemen Indra dalam kegelapan.

Ada foto-foto Indra ketika dia sekolah di San Francisco, foto dengan orang tua ketika wisuda, foto-foto Indra dan kakaknya yang bertampang manis sekali. Di pojok tembok berisi foto-foto itu, ada sebuah foto aku, satu satunya foto yang tak ada Indra maupun keluarganya. Aneh juga, kupikir, entah mengapa dia memasang fotoku di sini.

Puas melihat-lihat, aku berjalan menelusuri suara mesin capuccino dan menemukan Indra sedang menuangkan nasi goreng dari wajan ke dua piring. Tanpa terlihat oleh Indra, aku mendekati dia dari belakang dan memeluknya erat-erat.
"Lho. lho.. udah bangun toh! eh.. ini hati hati nasi goreng panas lho.. ayo diminum dulu capuccinonya baru dibuat"

Tanpa menghiraukan ocehan Indra, aku menurunkan celana pendeknya di dapur, dan aku bersimpuh di depan Indra, menjilati kemaluannya sambil sesekali memasukkan seluruh panjangnya ke dalam leherku. Indra mulai diam berkonsentrasi ke arah kemaluannya yang menegang dengan cepat, tangannya yang besar memegang kepalaku dan mulai menggoyang-goyangkan penisnya keluar masuk mulutku. Ketika benda itu sudah sangat tegang, Indra menarik t-shirtnya lepas. Dengan sekali rengkuh, dia mengangkat tubuhku ke pundaknya. Persis seperti seekor gorila yang membawa sepotong daging makanan kembali ke gua, Indra membawaku kembali ke kamar tidurnya, dia menarik gaun mandi itu lepas dari tubuhku dan menaruhku di ranjangnya. Ketika dia berlutut di antara kakiku, kemaluanku telah basah setengah mati siap untuk di setubuhi oleh pejantan. Kurasakan ujung bulat kemaluannya berusaha mencari-cari jalan ke arah lubang kewanitaanku. Perlahan-lahan Indra menyetubuhiku pagi itu. Diterangi sinar pagi hari di kota Jakarta, kami berdua memadu cinta di kamar tidur itu dengan kaca jendela yang terbuka lebar tanpa ditutupi korden. Tanpa perduli tentang apa-apa lagi di dunia ini, aku menggoyangkan pinggulku untuk memuaskan kekasihku yang dengan sabarnya memeluk aku yang menangis tadi malam. Aku menyodorkan payudaraku untuk bergantian dijilati oleh Indra, sementara tangan Indra sibuk mengusap-usap tombol kenikmatanku.

Indra berhenti sebentar dari goyangan pinggulnya untuk memutar posisi tubuhku menyamping. Dengan memegang tungkai kiriku, dia kembali menusuk-nusukkan kemaluannya dan menyatukan jiwa raga kami. Tanganku kiriku mengusap payudaraku sendiri untuk mencari kenikmatan.
Tanpa berusaha untuk keluar berbarengan, gelombang orgasme itu menyambar kami berdua bersamaan. Aku merasakan kemaluannya mengejang keras di dalam tubuhku dan menyemprotkan cairan benih langsung ke dalam rahimku. Kami berdua saling mengadu kemaluan kami untuk memeras kenikmatan itu sampai titik terakhir.

Indra akhirnya ambruk di belakang tubuhku, kemaluannya masih agak tegang menancap di antara pahaku. Dia memeluk pinggangku dari belakang dan kami sempat tertidur sesaat, sebelum akhirnya kami berdua bangun untuk sarapan pagi bersama. Dengan dipangku oleh Indra, dia menyuapiku nasi goreng hasil karyanya dan aku menyeruput capuccino yang hangat. Sambil menikmati makanan pagi yang lezat, kami bertukar cerita tentang kehidupan kami masing-masing di Jakarta dan di San Francisco. Tanpa ditanya, aku menceritakan segalanya tentang Eva dan Rudi. Indra hanyalah mengangguk-angguk tanpa berkomentar sedikitpun. Ketika aku selesai dan mataku basah dengan air mata, dia lagi-lagi hanya memeluk aku erat-erat.

Selesai makan pagi, aku menaruh kedua tangan Indra di buah dadaku, dan mengarahkan kami berdua ke dalam bilik shower. Sekali lagi kami memadu kasih di bawah pancuran shower yang hangat. Lengan Indra yang berotot menarik pinggulku sambil membenamkan kemaluannya dalam-dalam. Di tengah gemericik air itu, erangan dan desahan kami berdua bersahut-sahutan, semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya Indra meremas payudaraku dengan keras dan kejantanannya menyemburkan lendir kelamin di dalam rongga kewanitaanku. Kami berdua mengejar napas sebentar lalu membilas tubuh satu sama lain.

Seperti layaknya seorang pacar yang penuh sayang, aku memilihkan kemeja, celana panjang dan dasi untuk Indra hari itu. Sambil hanya mengenakan gaun mandi, aku memberikan ciuman perpisahan ke Indra yang berangkat kerja. Sebelum dia masuk ke dalam lift apartemen, aku sempat menarik gaun mandiku terbuka dan memperlihatkan tubuh telanjangku ke Indra, yang dibalas dengan senyuman lebar dari kekasihku.

Akhirnya aku mengenakan kembali kemeja dan jeansku dari hari kemaren, mengeringkan rambutku dan mengenakan parfum Indra yang kutemukan di kamar mandinya. Sebelum meninggalkan apartement Indra, aku menaruh souvenir di ranjang Indra berupa celana dalam g-stringku yang dihiasi cetakan lipstick dari bibirku. Cairan sperma Indra yang mulai mengalir dari kewanitaanku mengingatkan aku bahwa kami tidak mengenakan pengaman anti kehamilan apapun tadi pagi.

Lalu aku pun kembali ke rumah orang tuaku menjadi Vanessa, gadis perawan yang alim dan masih lugu dalam soal pria, tapi dia bukan seorang wanita pengganggu rumah tangga orang lain. 

No comments: