Sunday, March 02, 2014

The worst cousin

Halo para pembaca sekalian, sudah agak lama Nessa enggak sempet menulis update di blog ini. Belakangan ini, aku dan Dion berjanji akan pacaran serius dengan satu sama lain, berarti dia tak boleh lagi melayani cewek-cewek di kampus yang ingin memegang bisepnya yang besar, ingin merasakan otot perut-nya yang six-pack, ataupun yang ingin mencicipi kemaluannya. Sedangkan aku, tak boleh lagi menghiraukan cowok-cowok yang mengajak check-in, yang membelikan minuman keras ketika dugem, ataupun yang sering mengirimkan e-mail cerita cerita panas (termasuk beberapa pembaca blog ini! :) ).  Hampir setiap malam aku bersama Dion, entah hanya menemani dia belajar, menonton TV berdua, clubbing, ataupun bercinta dengan hanya diterangi beberapa lilin yang temaram. Kadang-kadang aku memasak makanan malam spaghetti kesukaan dia dan kami berdua berolahraga di fitness center sekolahnya sampai malam. Ya.. kehidupan petualanganku berkurang drastis, dan akibatnya bahan untuk bercerita di sini pun berkurang.

Tapi untung aku masih bisa melihat diary-ku dari tahun yang lalu dan bercerita tentang petualanganku yang lama. Ini adalah salah satu dari petualangan itu. Tepatnya ketika aku berkunjung kembali ke Indonesia setahun setelah perkawinan sepupuku Eva di tahun 2007. Dikarenakan panjangnya cerita ini, aku membagi menjadi dua bagian, yang akan beres di ketik dan di post akhir minggu ini. (pertama kalinya Nessa menjanjikan posting cerita menurut jadwal!).

Nessa tahu, topik kali ini mungkin memicu opini yang keras dan mungkin sedikit kontroversi. Banyak keluarga yang telah mengalami sendiri subjek cerita ini, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Seperti biasanya, Nessa mengundang semua pendapat, saran, sharing cerita, baik di e-mail nessa - nessagurl@gmail.com maupun di fesbuk nessa, ataupun melalui komentar di posting artikel ini -- ha te te pe :// vanessadiary-dot-blog-spot-dot-com, ataupun akun twitter nessa : @NessaLovesMen




Kami sekeluarga duduk di ruang tengah Eva, baru saja sepupuku itu membeli rumah baru bersama suaminya di sebuah daerah yang baru dibangun di pinggiran kota Jakarta. Eva sebagai tuan rumah menyuguhkan berbagai macam kue-kue, kakek-nenek, tante-om, semua sepupuku, dan papa-mamaku melihat-lihat dengan kagum rumah baru yang dibangun dengan gaya modern contemporary itu. Seperti layaknya pasangan yang baru menikah, Eva dan suaminya Rudi terlihat mesra dan sangat menikmati hidup baru bersama. Orang tua Eva dan Rudi dengan bangga bercerita tentang rumah baru itu yang didesain salah satu arsitek ternama di kota. Kami sekeluarga besar memang keluarga yang kompak dan dekat dengan satu sama lain, sering sekali bertemu untuk acara sosial seperti ini.

Setelah mengobrol, dilanjutkan dengan makan siang bersama, makanan semua telah tersaji di beranda yang menghadap ke kebun belakang yang penuh dengan pepohonan yang rindang. Kami semua duduk di sekitar beranda sambil makan, mengobrol dan bercanda. Aku makan bersama Eva, dan beberapa sepupu wanita dan tante. Seperti biasanya kalau beberapa wanita ngerumpi bersama, obrolan ya menjurus ke arah seks,
"Kalau Rudi tuh, tiap malam minta jatah terus, untung anunya itu besar, pokoke aku puas sekali deh," ujar Eva.
"Suamiku tuh, udah beberapa taun kayanya engga berminat, padahal anak2 udah pada pergi sekolah di luar negeri," keluh salah satu tanteku.
"Ness, ayo tutup kupingnya, kamu kan belum menikah, hahaha," salah satu tanteku yang lain menggodaku. Kalau saja dia tahu, batinku dalam hati.
"Wah, kalau Iwan tuh matanya justru sering jelalatan. Kalo ada yang lewat pake rok pendek, pasti matanya udah kemana-mana," ujar sepupuku yang lain
"Untung Rudi engga seperti itu, aku kan pastiin dia selalu puas dengan pelayanan di rumah," balas Eva,"Sori ya Ness, kita ngobrol dewasa melulu."
Tante2ku tertawa-tawa mendengar penjelasan Eva itu. Memang Eva termasuk wanita yang cantik dan seksi, sejak muda sudah banyak pacarnya, tapi ia berhasil menjaga keperawanan sampai pernikahan dengan Rudi. Sementara Rudi sendiri, adalah pria yang tinggi besar, cukup atletis berkat olahraga basket dua kali seminggu. Dari cerita Eva, Rudi sudah bukan perjaka lagi ketika mereka kawin, tapi ternyata selalu setia dengan Eva setelah itu. Terus terang, menurutku, Rudi itu bertampang keren dan gagah besar. Kalau saja kami bertemu sebelum dia menjadi pacar Eva, mungkin sudah aku godai. Antara aku dan Eva, sejak kecil sebenarnya sering sekali kami bersaing, baik dalam prestasi di sekolah, olahraga (kami berdua perenang kompetitif), perhatian dari kakek nenek, maupun dalam pacaran.

Selesai makan siang, aku membawa piring-piring kotor ke dapur, di mana beberapa tanteku sedang mencuci dan membersihkan sisa-sisa makanan untuk dibagi-bagi dan dibawa pulang. Lalu aku berjalan melalui bagian samping rumah menuju kebun belakang untuk meneruskan rumpian dengan sepupuku. Di halaman kecil samping rumah, ternyata Rudi dan Iwan sedang merokok dan mengobrol. Aku memutuskan untuk ikut mengobrol bersama.

"Eh, ikutan dong, minta rokoknya"
"Lho Ness, kamu bisa merokok juga ya ?" ujar Iwan sambil buru buru menawarkan rokok dan api
"Yaa, kadang2 kalau temanku merokok aku ikutan juga"

Aku menarik nafas melalui rokok kretek itu dalam-dalam, dan membiarkan asap keluar pelan-pelan lewat mulutku yang setengah terbuka. ah.. enak sekali rasanya, sudah lama aku tidak mencoba rokok Indonesia. Aku mulai menarik nafas kedua, ketika kulihat Iwan malah sedang memelototi buah dadaku yang terbungkus kaus ketat berwarna merah muda. Matanya bolak-balik menikmati bagian atas tubuhku dan pahaku yang hanya tertutup celana pendek kecil berwarna putih. Sementara Rudi sedang asyik menikmati rokoknya yang beraroma menthol, tanpa sedikitpun memperhatikan Iwan yang sedang menelanjangiku dengan matanya.

Sifat isengku muncul, aku pura-pura menjatuhkan rokokku dengan tidak sengaja, lalu membungkukkan badan untuk mengambilnya. Mata Iwan yang lengket dengan payudaraku, disajikan dengan pandangan lezat akan buah dada yang ranum menggelantung, dan juga pantatku yang bulat putih, dengan celana dalam g-string warna kulit yang samar-samar terlihat lewat celana pendek. Untuk beberapa saat, Iwan hanya melongo melihat pertunjukan gratis itu. Aku pura-pura tidak menyadari tatapan-nya yang menempel ketat itu, dan mulai mengobrol dengan Rudi tentang usaha bisnisnya di Jakarta.

Selama sisa hari itu, Iwan terus berusaha mengajakku mengobrol, malahan akhirnya dia menyelipkan nomer teleponnya di genggaman tanganku ketika dia pamit untuk pulang bersama Sophia, sepupuku. Aku hanya tertawa dalam hati menyaksikan sikapnya, nomer teleponnya langsung kubuang ketika mereka berjalan keluar pagar halaman rumah Eva.

Keluargaku termasuk salah satu yang terakhir pulang dari rumah Eva. Sebelum berangkat pulang ke rumah orang tuaku, aku memutuskan untuk menggunakan toilet di sana. Aku mencuci tangan di wastafel dan berjalan kembali ke ruang tamu dimana orang tuaku sedang mengobrol dengan Eva, Rudi, dan orang tua mereka. Aku berpapasan dengan Rudi ketika berjalan kembali, dia menyapaku:
"Ness, thanks buat datang ya, Eva tuh selalu menganggap elu sebagai cici besarnya, jadi kita berdua seneng deh bisa ketemu kamu setiap kamu pulang ke Indonesia"
"Iya lah, aku kan mengurusi Eva sejak dia kecil, kadang-kadang dia dititipi di rumah gua. Buat gua juga udah seperti adik sendiri. Jadi awas aja lho kalo kamu berani nyeleweng hahaha"
Rudi hanya tersenyum mendengar godaanku, tapi untuk beberapa detik, matanya mulai menjelajahi tubuhku dari atas ke bawah, persis seperti ratusan lelaki horni yang sudah kenal dengan intim denganku.
"Aku juga senang ketemu denganmu, Ness"
"ahh.. kamu ngegombal aja Rud"
"Eva tuh orangnya kadang-kadang suka terlalu sopan dan konservatif. Kalau sama suami sendiri aja biasanya kurang terbuka dan engga mau mencoba hal-hal baru"
"Hal-hal baru seperti apa ya ?"
"Haha.. mau aku ajarin Ness ?"
Aku terbengong berusaha menebak arah pembicaraan ini. Tanpa membiarkan aku bengong terlalu lama, Rudi menyelipkan kartu namanya ke dalam kantung belakang celanaku, sambil meraba pantatku yang bulat. Dia berbisik,"Jangan takut Ness, aku bisa ajarin kamu semuanya, PIN BB-ku ada di kartu namaku, add aku ya". Lalu dia berjalan terus ke belakang rumah meninggalkan aku yang masih berusaha mengerti apa yang baru saja terjadi.

Apa suami sepupuku baru saja mengajak menyeleweng denganku ? Apa dia pikir aku ini masih perawan yang perlu diajari cara-cara ciuman dan bercinta ? Semua pikiran itu berkeliling terus di otakku sepanjang jalan ke rumah.

Mengapa Rudi mau mencari kepuasan di luar pernikahan dia ? Menurut Eva, dia selalu memuaskan Rudi di rumah secara lahir bathin. Kalau Rudi memang orang yang suka menyeleweng (meskipun istri memberikan kepuasan di rumah), apa lebih baik Rudi memenuhi kebutuhan seksnya dengan pelacur-pelacur yang melayani puluhan orang per hari dan mungkin terkena penyakit kelamin, atau lebih baik aku melayani kebutuhan dia supaya dia tidak perlu mencari kepuasan di tempat lain yang lebih berbahaya untuk Eva ?

Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan semua pertanyaan itu dan juga apa maksud Rudi dengan meminta aku untuk mengontak BB dia. Akhirnya sambil mengunyah makanan pagiku roti pindekaas, aku memutuskan untuk mengirim sebuah pesan melalui BB ke Rudi: "Rud, mau apa kontak lewat BB ? apa Eva tau tentang ini ? "
Tak lama kemudian dia membalas,"Ness, ketemuin gua deh di cafe xxx jam 1 siang ini, gua jelasin"
Mau tak mau sekarang aku harus datang menemui Rudi untuk mendengarkan penjelasan dia.

Sekitar jam 12, aku bersiap-siap pergi menemui Rudi. Sempat terbersit pikiran di otakku, apa sebenarnya tujuan Rudi bertemu, apakah aku harus berpakaian sangat sopan dan tertutup, seperti gadis baik-baik, ataukah aku harusnya berpakaian agak terbuka dan menyuguhkan pemandangan yang asoy ? Apakah kami akan pulang sendiri-sendiri dari pertemuan di cafe siang ini ? ataukah pertemuan ini akan berakhir di sebuah kamar hotel ?
Akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan sepotong kemeja lengan pendek yang agak tertutup, jeans paling sopan yang kumiliki, dan sandal hak pendek. Rambutku digelung ke atas, aku tidak menggunakan makeup sama sekali dan hanya mengenakan lip gloss dan sedikit parfum.
Sepanjang perjalanan ke cafe, aku memikirkan tentang Eva dan hidup rumah tangganya yang baru saja berumur satu tahun. Tapi aku berusaha tidak berpikir terlalu jauh, siapa tahu Rudi hanya ingin bertemu untuk makan-makan.

Aku tiba di cafe sebelum Rudi, kupesan sebuah es jeruk untuk diminum sambil menunggu. Enak sekali rasanya menikmati minuman dingin di cuaca yang gerah seperti ini. Tiba-tiba sepasang lengan memeluk pundakku dan mencium pipiku dari kiri. Aku berteriak kecil kaget, sementara Rudi tertawa melihat reaksiku. Setelah memesan makanan siang, kami berdua duduk tanpa bicara, tapi Rudi tidak terlihat ragu-ragu atau salah tingkah, dia hanya duduk penuh percaya diri, dan menatapi wajahku, sampai aku sendiri yang salah tingkah.

"Ness, gua suka banget deh ngeliatin wajahmu, cantik sekali"
Wajahku saat itu merona merah seperti kepiting rebus.
"Pasti kamu ingin tahu kenapa aku mengajak ketemu seperti ini kan?", Rudi meneruskan,"Eva sering banget cerita tentang kamu, katanya kamu pintar sekali di sekolah dulu, setengah mati dia belajar berusaha mengimbangi prestasimu di sekolah. Apalagi di kolam renang, dia bilang tinggi badanmu itu bener bener membantu menang semua perlombaan di sekolah."

Aku tidak membalas sedikitpun, kubiarkan kata-kata dia menggantung di tengah kesunyian antara kami berdua.

Rudi yang akhirnya berbicara lagi,"Ness, sori aku terus terang sekali, dan mungkin ini membuatmu merasa terpojok. Kalau ini membuat kamu marah, atau sakit hati, tolong dimaafkan dan anggap aja kita tidak pernah bertemu hari ini. Tapi aku jatuh hati denganmu. Waktu aku pacaran dengan Eva, aku selalu ingin datang ke acara keluarga kalau kamu sedang ada di Indonesia, hanya untuk melihat kamu. Waktu aku dan Eva menikah, aku tidak peduli dengan gaun pernikahan Eva, ataupun keluarga yang lain, aku hanya ingin melihat kamu dalam gaun pesta, cantik sekali waktu itu, meskipun sayang kamu sudah punya pacar. Waktu kalian sekeluarga datang ke rumah kemarin, ingin sekali aku duduk denganmu dan mencium bibirmu. Waktu aku bercinta dengan Eva, aku hanya membayangkan kamu."

Cewek mana sih yang tidak merasa tersanjung dengan ucapan-ucapan seperti itu ? Apalagi datangnya dari suami sepupu yang sejak kecil telah menjadi saingan di keluarga ? Kakek dan nenek selalu lebih perhatian dengan Eva, cucu yang tidak pernah berbuat salah. Meskipun aku selalu berprestasi lebih bagus, dan selalu menang di kolam renang, tapi kakek, nenek, tante, paman, semuanya selalu lebih suka bermain dengan Eva, selalu penuh perhatian dengan Eva. Mereka selalu bilang,"kenapa sih kamu engga bisa seperti Eva?"

"Terus, Rud, maksudmu mau bagaimana sekarang ?" tanyaku,"Kamu itu sudah jadi suami orang, suami sepupuku."
"Ya.. gua tau itu Ness, tapi tetep gua engga bisa berhenti mikirin kamu."

Mungkin sudah saatnya aku membalas Eva untuk semua kekecewaan masa remaja kami berdua. 

"Jangan takut Ness, aku bisa lihat keraguan di mukamu. Ini bakal jadi rahasia kita berdua, tokh aku engga mungkin bakal bilang sama siapa-siapa bahwa aku ngajakin sepupu istriku tidur, aku belum segila itu. Dan Eva cerita sama aku kok, setiap kali kumpul2 dengan tante2 dan sepupu yang lain, kamu selalu dianggap sebagai sepupu yang paling lugu dan engga berpengalaman dengan lelaki. Aku bisa ajarin kamu segalanya tentang lelaki, dan seenggaknya kamu dalam hati tau tante2 dan sepupu2 itu semuanya salah."

 Hmm.. dalam hati aku berpikir ,"Rud, andai saja kamu tahu betapa salahnya kamu, dan tante2 dan sepupu2ku itu."

"Dan Ness, kamu bakal menyadari, setiap kali kamu melihat Eva, kamu tahu bahwa suami Eva selalu membayangkan bercinta dengan kamu. Setiap kali aku menggoyang pinggul Eva, aku sebenarnya menggoyang pinggul kamu. Dan setial kali aku keluar di dalam tubuh Eva, sebenarnya itu semua untuk kamu"

Pernyataan terakhir itu membangunkan aku dari semua pikiranku. Aku menatap mata Rudi dalam dalam, dan mengangguk perlahan.
Rudi tersenyum penuh kemenangan ,"Ness, aku sudah booking sebuah kamar di hotel xxx, di lantai atas cafe ini. Supaya engga terlalu kelihatan seperti kita berdua check-in, ini kunci kamarnya, kamu naik duluan ke sana, aku susul dalam lima menit." Ia menyelipkan sebuah kartu magnetik ke dalam tanganku.

Kamu rupanya konfiden sekali, pikirku. Tapi memang benar juga, aku siap membalas semua masalahku dengan Eva lewat ini. 

Kunci di tangan kiriku, HP dan dompetku di tangan kananku, aku melangkah menuju elevator. Sebuah elevator telah menanti dengan pintu terbuka, hanya aku sendirian di dalam elevator menujur lantai 23 itu. Aku tiba di kamar yang hanya berisi sebuah king-sized bed, dengan pemandangan kota di dua sisi. Kaca jendela menutupi dari plafon sampai ke lantai, ditutupi kain korden yang tipis menerawang.

This is it, Ness, do you really want to go through with this ? aku menimbang-nimbang konsekuensi dari apa yang akan terjadi di kamar ini dalam beberapa jam berikutnya. Antara aku, Rudi, dan Eva, akan berubah selamanya. Setiap kali keluarga besarku bertemu, akan terasa aneh sekali antara kami bertiga. 

Tapi, hati kecilku berbisik, meskipun aku meninggalkan kamar saat itu juga, fakta bahwa Rudi sudah mengajak aku check-in *telah* merubah segalanya. Telah terbukti bahwa dia memang suami yang suka menyeleweng dan jika tidak denganku, pasti dia menyeleweng dengan wanita lain. 

Rupanya aku berpikir agak terlalu lama. Suara mekanisme pengunci pintu berbunyi terbuka, dan Rudi melangkah masuk ke dalam kamar. Aku masih berdiri di depan kaca jendela memandang suasana siang kota Jakarta, Rudi tersenyum penuh kemenangan melihatku ada di dalam kamar. Dia melangkah menujuku, memeluk pinggangku dari belakang, dan membalikkan tubuhku menghadap dia.
Sudut mataku sedikit berlinang air, diusap oleh Rudi dan dikecup dengan lembut. Dia berbisik,"Jangan takut Ness, pertama kali Eva bercinta denganku, persis seperti ini, biarkanlah kamu menangis." Rupanya dia menganggap air mataku itu dari seorang perawan yang masih takut2 berhubungan suami istri, padahal aku menangis karena bingung apa yang harus kulakukan. Aku menangis karena ini adalah suatu zinah terhadap Eva dan juga terhadap keluargaku. Aku menangis membayangkan, kalau saja papa mamaku tahu tentang ini, apa yang akan mereka katakan.

Rudi mulai menciumi jenjang leherku dan perlahan lahan mendorong kami berdua menuju ranjang. Kedua tangannya lengket memegangi pinggulku sementara bibirnya sibuk membuat cupangan kecil di leherku. Entah mengapa, semua ini terasa sangat salah buatku, aku semakin terisak menangis. Sampai ketika Rudi mulai mempreteli kancing atas kemejaku, aku seakan tersentak kembali ke alam sadar. Aku berusaha melawan Rudi, dan ketika dia tidak berhenti, aku menampar wajahnya sampai dia terjatuh ke ranjang di sampingku. Aku segera menyambar HP dan dompetku, aku lari ke pintu kamar hotel dan lalu naik lift kembali ke mobilku. Setibanya di mobilku yang aman tertutup kaca gelap di lapangan parkir bawah tanah, aku menangis sejadi-jadinya atas apa yang hampir saja terjadi.

Inilah suatu saat yang mendefinisikan kepribadianku. Aku memang seorang wanita dewasa yang suka seks, dan aku tidak memungkiri bahwa aku sudah tidur dengan banyak sekali pria. Tapi aku bukanlah seorang yang akan pernah menjadi wanita penghancur rumah tangga. Saat itulah aku memutuskan untuk tidak pernah lagi menggangu rumah tangga dan suami orang lain. Hidup perkawinan itu sudah cukup sulit, tanpa perlu dipersulit dengan kehadiran orang ketiga.

Aku menangis antara takut, kecewa, marah. Takut bahwa sebenarnya aku hampir saja menjadi wanita pengganggu rumah tangga, kecewa karena aku tidak bisa sadar diri sebelum dicumbui di atas ranjang di kamar hotel, dan marah dengan Rudi yang tidak menghargai kesucian sebuah pernikahan.

Mungkin sekitar tiga puluh menit aku menangis sesenggukan di dalam mobilku yang gelap. Lalu aku memacu mobilku ke arah salah satu club yang terkenal di Jakarta. Tanganku bergemetaran menghantarkan satu persatu shot glass tequila ke bibirku. Ketika akhirnya aku bisa berhenti bergemetaran dan hatiku mulai tenang dibantu oleh alkohol, aku mengeluarkan ponselku dan menelepon nomer yang sering kuhubungi di Jakarta.
"Dra, help me please, I need you tonight"
"Lho ness, calm down.. relax.. elu ada di mana, gua jemputin bentar lagi"

Malam itu aku menginap di apartemen Indra, dia menjadi seorang bankir di Jakarta setelah kembali ke Indonesia, dan tinggal di salah satu apartemen kompleks yang modern. Indra membantuku mandi dan kami berpelukan telanjang di bawah selimut, tapi dia dengan sangat gentleman tidak mencoba untuk mencumbui ataupun merangasangku. Indra membiarkan aku menangis sejadinya tanpa bertanya-tanya apa pun. Dia hanya memeluk aku semalaman sampai aku jatuh tertidur.